Minggu, 10 Juni 2012

Rekonstruksi Pendidikan Pesantren


REKONSTRUKSI
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

Semakin kompleks dan pesatnya perkembangan masyarakat, baik yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi modern maupun kehidupan beragama, maka pendidikan yang sedang berlangsung saat ini semakin memperoleh perhatian yang lebih besar dari semua pihak. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pendidikan adalah upaya untuk membentuk manusia seutuhnya dan jelas membutuhkan waktu yang relatif panjang bahkan berlangsung seumur hidup.
Tentang pendidikan di Indonesia, tidak bisa terlepas dari peran dan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya, fungsi pokok pesantren adalah mencetak ulama' dan ahli agama.[1] Hingga saat ini fungsi pokok tersebut tetap terpelihara dan dipertahankan. Sebab harus diakui bahwa pesantren selain sebagai lembaga kelembagaan islam juga telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki peran besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pesantren merupakan lembaga yang mengiringi perjalanan da'wah islamiyah di Indonesia, hal ini mengesankan persepsi yang sangat plural. Pesantren bisa dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan mental, lembaga da'wah dan yang paling popular adalah sebagai institusi pendidikan islam. Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya masing-masing yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik, sosio-kultural, sosio-ekonomik maupun sosio-religious. Kendati demikian antara pesantren satu dengan lainnya sering terjadi dialog kooperatif sesuai dengan latar belakangnya. Bahkan hampir semua pesantren di Indonesia memiliki kesamaan referensi dengan metode pengajaran dan pemahaman keagamaan yang sama pula. Adapun antara pesantren dengan masyarakat terjalin interaksi yang harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam perkembangannya, sebab dengan adanya pesantren akan membantu tugas dan cita-cita masyarakat dalam mewujudkan generasi penerus.
Pesantren jika disandingkan dengan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu pesantren mempunyai tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Dengan demikian pesantren menjadi lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah lama, tetapi juga karena kultur, metode dan penyajian yang diterapkan oleh lembaga pendidikan agama ini yang khas, itulah sebabnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).[2] Pesantren juga dianggap sebagai satu-satunya sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem tradisional[3] (konservatif). Sebagaimana dikatakan Ulil Abshar Abdala : "Bahwa Pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual tradisional."[4] Asumsi ini mengukuhkan bahwa pesantren dengan segala infrastrukturnya merupakan lembaga pendidikan yang masih menjunjung tinggi tradisi dan budaya otentik bangsa.
Menurut pandangan Mastuhu, sebagai sebuah lembaga pendidikan islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol yaitu : memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab islam klasik  yang berbahasa arab, mempunyai tehnik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan dan bandongan atau weton, mengedepankan hafalan dan menggunakan sistem halaqoh.[5]
Ciri utama dari pola umum pendidikan islam tradisionalistik yang diterapkan di pesantren bukanlah sesuatu yang sempurna. Di dalamnya terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya yaitu Mampu menanamkan sikap hidup universal secara merata dengan tata nilai. Dan mampu memelihara tata nilai (sub kultur) pesantren hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan kehidupan seorang santri.
Adapun beberapa kelemahan yang ada di antarannya : pertama kurang mempunyai perencanaan yang rinci dan rasional bagi jalannya proses pengajaran dan pendidikan, kedua tidak mempunyai kurikulum yang terarah, padahal dengan kurikulum diharapkan dapat mempermudah santri dalam memahami pelajaran yang akan disampaikan, ketiga tidak mempunyai standar khusus yang membedakan secara jelas hal-hal yang diperlukan dan sebaliknya dalam sebuah jenjang pendidikan. Pedoman yang digunakan hanyalah mengajarkan bagaimana penerapan hukum-hukum syara' dalam kehidupan (fiqh oriented).[6]
Dengan demikian menurut Iqbal sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto mengkritik pendidikan tradisional hanya mengajarkan otak dan jiwa manusia di dalam kurungan yang ketat, sehingga tidak mampu mencetak manusia intelek yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan.[7] Sementara bila dibandingkan dengan pendidikan barat lebih cenderung kepada materialistik, suatu kecenderungan yang nantinya akan merusak nilai-nilai spiritual manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Iqbal bahwa pendidikan barat hanya dapat mencetak manusia menjadi out put dengan intelektual tinggi, tetapi tanpa memiliki hati nurani yang berkualitas.[8] Sistem pendidikan ini akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan manusia tanpa keseimbangan antara aspek lahiriyah dengan aspek bathiniyah.
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama  (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan balutan pendidikan modern, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia  “character building” bangsa Indonesia.[9]
Sementara ini terdapat opini negatif terhadap eksistensi pesantren, karena pesantren dinilai tidak responsif terhadap perkembangan zaman, sulit menerima perubahan (pembaharuan), dengan tetap mempertahankan pola pendidikannya yang tradisional (salafiyah) pesantren menjadi semacam institusi yang cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih sinis lagi ada yang beranggapan bahwa pendidikan pesantren tergantung selera kyai. Dengan demikian, masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal ini muncul karena memang banyak orang tidak mengenal dan tidak mengerti tentang subtansial pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah, maka pesantren dituntut untuk melakukan penyesuaian dan reorientasi visi dan misinya. Pesantren dalam mensikapi perubahan dituntut untuk melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak dasarnya sebagai institusi pendidikan, keagamaan dan sosial. Oleh sebab itu pembaharuan pesantren perlu dilakukan dalam upaya merefungsionalisasikan pesantren agar peranan dan kontribusinya sebagai agen pembangunan masyarakat dirasakan secara nyata. Pada konteks ini, lembaga pesantren menempatkan diri sebagai institusi dinamisator dan katalisator pembangunan masyarakat bukan hanya dibidang keagamaan, namun juga di bidang-bidang kehidupan sosial lainnya.[10]
Fenomena perkembangan abad mutakhir ini menghendaki adanya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, karena perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan siswa / santri yang dilaksanakan secara seimbang, antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan komunikasi, dan kesadaran akan ekologi lingkungan. Dengan kata lain menurut Ridlwan Nashir seimbang antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi) dan IMTAQ (Iman dan Taqwa), yakni meliputi IQ (Intelectual Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient)[11].
Dengan demikian perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sebetulnya telah dimaklumi. Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan kaidah yang sangat popular yaitu al Muhafadhotu 'ala al qodiim ash sholih wal 'akhdzu bil jadid al ashlah.
Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan keniscayaan, asalkan tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika pesantren  diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek ashlah merupakan aspek kunci utama yang harus dipegang.
Seirama dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka terjadilah pergeseran nilai, struktur dan pandangan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Di antara aspek tersebut adalah yang berkaitan dengan dunia pendidikan, maka pesantren dihadapkan pada berbagai problem. Sehingga dunia pesantren sangat memerlukan suatu pembaharuan khususnya yang berkaitan erat dengan pendidikan.
Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Dan tidak perlu mengorbankan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah islamiyah, kemandirian dan dan lain sebagainya, dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sifat optimis menghadap segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam.[12]
Secara common sense bahwa pesantren sangat lekat dengan figur seorang kyai atau pengasuh. Kyai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatik dan pusat seluruh kebijakan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua hal yaitu : pertama kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik, sehingga kebanyakan dari pesantren menganut pola "serba mono" ; mono-manajemen dan mono administrasi, yang mengakibatkan tidak adanya delegasi kewenangan terhadap unit-unit kerja dalam organisasi secara profesional. Kedua kepemilikan pesantren bersifat individual (keluarga), otoritas individu kyai sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa diganggu gugat. Faktor nasab juga kuat sehingga kyai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak keturunannya, yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes.[13] Sistem alih kepemimpinan seperti ini kerap kali mengundang sindiran bahwa pesantren layaknya "kerajaan kecil".
Kondisi demikian ini, menyebabkan orang luar tidak boleh dan merasa tidak memiliki hak untuk mengajukan usulan-usulan konstructive-strategic dalam upaya pengembangan pesantren di masa depan. Pihak pengasuh sendiri tidak membuka ruang bagi pemikiran-pemikiran dari luar yang menyangkut penentuan kebijakan pesantren, mengingat hal itu menjadi wewenangnya secara mutlak. Terkadang ada usulan-usulan pengembangan yang berasal dari luar yang berbeda sama sekali dari kebijakan pengasuh justru di respon secara negatif.
Model kepemimpinan inilah yang diidentifikasi sebagai kepemimpinan yang alami, sehingga corak manajemennya pun alami. Corak manajemen alami ini mengancam eksistensi pesantren di kemudian hari. Sebab fenomena ini muncul karena kebiasaan sistem pendidikan pesantren yang menerapkan manajemen "serba tidak formal".[14] Akibatnya, belakangan ini ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh kyai pendirinya. Hal ini disebabkan tidak adanya keturunan kyai yang mampu meneruskan kepemimpinan pesantren ayahnya, baik dari segi penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Akibat fatal dari kepemimpinan individual kyai tersebut, menyadarkan sebagian pengasuh, departemen agama di samping masyarakat muslim sekitar. Mereka berusaha menawarkan solusi yang terbaik guna menanggulangi musibah kematian pesantren.[15]
Kemudian sejalan dengan perkembangan zaman dewasa ini sebagian dari beberapa pesantren sudah membentuk badan kepengurusan yang terorganisir yang mengelola dan menangani kegiatan-kegiatan pesantren, misalnya pendidikan formal, pengajian majelis ta'lim, sampai pada masalah penginapan (asrama) santri. Pada tipe pesantren ini pembagian kerja antar unit sudah berjalan dengan baik, meskipun masih tetap saja kyai memiliki pengaruh yang sangat kuat. Dalam keadaan semacam ini, banyak hal yang bisa ditunjuk sebagai sebab yang paling utama adalah watak kharismatik yang dimiliki oleh kyai, selain itu karena beberapa hal di antaranya karena mereka yang berada pada unit-unit tertentu masih menganggap bahwa kyai mempunyai hak mutlak absolut yang tidak bisa ditawar lagi, serta menganggap ketika memberikan usul dan pemikiran inovatif masih takut akan disebut su'ul adab. Sementara dari pihak kyai menganggap mereka adalah santrinya yang bebas untuk dikendalikan dan memberikan perintah. Sehingga dunia pesantren belum mengalami perubahan secara signifikan. Dengan kata lain perubahan tersebut hanyalah masih menyentuh permukaannya saja, sedang esensi dan substansinya tidak berubah.
Selain itu, dalam penyusunan kurikulum pun masih dipengaruhi dengan alur budaya pesantren yang cenderung pada pelestarian belum menyentuh pada pengembangan. Abdurrahman Wahid mengatakan kurikulum yang lentur (luwes),[16] artinya persoalan yang diajarkan seringkali serupa dan diulang-ulang, selama jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlainan. Selain pada dasarnya pembahasan kurikulum belum banyak dikenal oleh lembaga pesantren. Sedangkan salah satu komponen penting lembaga pendidikan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan adalah kurikulum.[17] Selanjutnya dalam rangkaian sistem pengajaran, metode menempati urutan setelah kurikulum, artinya metode mengikuti materi, -menyesuaikan bentuk dan coraknya-.
Oleh karena itu, pesantren dituntut untuk membuka diri dalam merespon perubahan zaman secara komprehensif, di antaranya memodernisasi pengelolaannya serta beberapa komponen-komponennya. Berangkat dari realitas tersebut, sudah sepantasnya pesantren mulai menata kembali sistemnya dalam menentukan berbagai fungsi oriented pesantren (pendidikan) dengan memperhatikan perkembangan zaman.


[1]Depag RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), 6
[2]Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 59
[3]Pengertian tradisional dalam arti bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat, bukan tradisional dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.
[4]Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning : Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren, dalam Marzuki Wahid, et al, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 287
[5]Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 143 - 144
[6]M. Muntahibun Nafis, Refleksi Sistem Pendidikan Pesantren dalam Konstruk Nalar Arkoun, dalam Episteme : JurnalPengembangan Ilmu Keislaman, ISSN 1907-7491, Volume 2, Nomor 2, Desember 2007, (Tulungagung: Program Pascasarjana STAIN Tulungagung, 2007), 117
[7]Abdullah Idi, Toto Suharto, Revitalitas Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiwa Wacana, 2006), 93
[8]Ibid., 92
[9]Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984), 69
[10]Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam : Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), 46
[11]Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal : Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 1
[12]Rohadi Abdul Fatah, et. al., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan : dari Tradisional, Modern hingga Post Modern, (Jakarta: PT Listafariska Putra, 2005), iv
[13]Mundzier Suparta, Amin Haedari (eds.), Manajemen Pondok….., 15
[14]Musthofa Rohman, Menggugat Manajemen Pesantren, dalam Ismail SM., et.al., Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), 107
[15]Mujamil Qomar, Pesantren : dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t.), 43
[16]Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 6
[17]S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),  13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar